Sekilas tentang
Gunung Kerinci
Gunung Kerinci adalah gunung tertinggi
di Sumatera dan gunung berapi tertinggi di Indonesia ( 3.805 mdpl) di luar
Papua. Gunung Kerinci terletak di provinsi Sumatera Barat dan Jambi di
Pegunungan Bukit Barisan. Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) dan merupakan habitat Harimau Sumatera dan Badak
Sumatera. Puncak Gunung Kerinci berada pada ketinggian 3.805 mdpl, di sini
pengunjung dapat melihat di kejauhan membentang pemandangan indah kota Jambi,
Padang dan Bengkulu. Bahkan Samudera Hindia yang luas dapat terlihat dengan
jelas. Gunung Kerinci memiliki kawah seluas 400 x 120 meter dan berisi air yang
berwarna hijau. Di sebelah timur terdapat danau Bento, rawa berair jernih
tertinggi di Sumatera. Di belakangnya terdapat Gunung Tujuh dengan kawah berupa
danau yang sangat indah. Gunung Kerinci merupakan gunung berapi bertipe
stratovolcano yang masih aktif dan terakhir kali meletus pada tahun 2009.
Keindahan panorama yang natural dengan kekayaan flora dan fauna dapat di temui
mulai dari dataran rendah hingga puncak gunung Kerinci, tidak hanya untuk
dinikmati tetapi sangat baik untuk melakukan penelitian dan pendidikan.
Pendakian ke puncak gunung Kerinci memakan waktu dua hari mulai dari Pos Kersik
Tuo.
Here we go….!
Perjalanan dimulai. Rombongan kami
berjumlah 10 orang, perjalanan menggunakan 5 motor dan 1 mobil SUV/Minibus.
Perjalanan dengan sepeda motor sejauh 581 Km harus saya tempuh. Sepanjang jalan
terutama setelah memasuki kabupaten Solok disisi jalan pemandangan Danau
Singkarak yang luas membentang. Disusul kemudian dengan Danau Kembar yaitu dua
buah danau yang juga terlihat disisi jalan sewaktu kami memasuki daerah
kabupaten Solok Selatan. Tidak berhenti sampai disitu, mata kami dimanjakan
kembali dengan panorama indahnya perkebunan the di Solok yang sangat luas
berbukit-bukit. Pemandangan itu menghipnotis kami. Maksudnya begini, mata dan
hati memaksa kami menghentikan kendaraan kami untuk sejenak memandang luasnya
perkebunan the yang tampak begitu indah. Jadilah kami menghentikan kendaraan
kami di tepi jalan. Menghirup udara sedalam-dalamnya yang sangat segar ketika
memasuki rongga paru-paru, ternyata perhentian kami ini tepat di depan Gunung
Talang yang tampak di kejauhan di belakang kebun teh.
Hari itu Kamis, 30 Januari 2014.
Kami berangkat beranggotakan 10 orang yang kesemuanya dari Jakarta mengendarai
5 motor dan 1 mobil berjenis SUV yang kami sewa untuk membawa perlengakapan mendaki
kami saat perjalanan ini. Perjalanan panjang yang kami lalui hingga sampailah
kami di tempat tujuan yaitu Gunung Kerinci. Sesampainya disana, hari sudah
malam. Dan tempat yang pertama kali saya datangi adalah Tugu Macan yang menjadi
semacam ikonik bagi pendaki Kerinci. Malam itu kami memutuskan untuk menginap
semalam di R.10 dengan menggunakan tenda. R.10 adalah tempat dimana perizinan
pendakian Kerinci di urus lebih tepatnya adalah Kantor TNKS (Taman Nasional
Kerinci Seblat). Dan menurut salah satu teman kami yang tidak bisa lepas dari
gadgetnya, ini adalah titik terakhir untuk mencharge semua baterai kamera,
handpone dan ipodnya.
Pagi tiba, kami bangun dan udara dingin
dahsyat segera menyerang tubuh. Wajar saja, R.10 berada di ketinggian 1.600
mdpl. Pagi itu kami hanya sarapan sereal instan dan mencari sumber air untuk
bekal perjalanan.
Perjalanan Dimulai
Kami semua berkumpul tepat di Pintu
Rimba Gunung Kerinci, mengabadikan foto, berdoa dan kemudian mulai bergerak.
Langkah kaki pertama mulai menapaki jalur awal pendakian Gunung Kerinci. Jalur
masih datar rasa lelah belum terasa hingga tak lama kemudian kami sampai di Pos
1, di pos 1 kami tidak berhenti dan memutuskan lanjut berjalan terus sampai Pos
2. Pos ini terkenal dengan jalur perlintasan Harimau. Disini kami istirahat
sebentar sembari mengobrol dengan kawan-kawan pendaki lainnya yang juga sedang
istirahat. Enaknya mendaki Kerinci itu ya ini, ketemu dengan orang dari
berbagai daerah bahkan luar negeri. Kebetulan saat ini memang cuaca sedang baik
dan pendakian Kerinci mulai ramai.
Cukup istirahat kami lanjutkan lagi
menuju Pos 3. Teryata jarak antara Pos 2 dan Pos 3 itu lumayan jauh dan medan
sudah banyak menanjak. Sementara perut sudah mulai teriak minta makan karna
saat sarapan kami hanya minum segelas energen saja dan tentu saja ini sudah
lewat jam makan siang. Kami berencana makan siang di Pos 3 sekalian istirahat
agak lama disana, maklum diantara rombongan kami ada 4 orang perempuan. Setelah
sekian lama berjalan sampailah kami di Pos 3. Brrr….hawa dingin mulai terasa
disini. Jaket tebal dan sarung tangan pun segera saya kenakan untuk menghalau
dingin ini. Sambil makan siang dengan lauk seadanya dan istirahat cukup lama,
beberapa diantara kami ada yg beristirahat sambil menghisap sebatang rokok, sebagian
lainnya packing lagi (termasuk memasukkan sampah) dan segera menuju Shelter 1.
Hawa dingin, sedikit berkabut, tanjakan
terjal dan licin kami lalui. Untuk mencapai Shelter 1 jaraknya sangat jauh,
tidak seperti jarak antar ketiga buah Pos yang kami lalui sebelumnya. Di
Shelter 1 kami hanya berhenti untuk istirahat sejenak, mengumpulkan tenaga yang
mulai terserap banyak. Selanjutnya kami bergerak lagi menuju tempat
peristirahatan berikutnya. Karena tenaga yang mulai terkuras kami memutuskan
untuk istirahat lagi. Sebagian memanaskan air untuk minum kopi. Mengingat hawa
dingin yang mulai terasa sejak kami berada di Pos 3. Kopi panas dan makanan
ringan kami rasa cocok untuk melawan dingin dan rasa lapar.
Setelah itu kami lanjutkan lagi
perjalanan menuju Shelter 2. Kami tiba di Shelter 2 ketika senja mulai tiba.
Hilangnya sinar mentari membuat dingin semakin terasa. Segala perlengkapan yang
kami bawa untuk melawan dingin pun kami kenakan antara lain, baju 2 lapis,
Jaket, sarung tangan, celana 2 lapis, penutup kepala, senter, dll. Walau begitu
hawa dingin tetap terasa.
Dari Shelter 2 menuju Shelter 3 kami
berjalan menanjak melewati rute yang berupa terowongan panjang nan terjal,
disini kami terbantu dengan bawaan kami trekking pole. Sesekali tangan
menyentuh dinding terowongan serasa menyentuh es. Ya, amat sangat dingin. Ujung
jari tangan saya sampai mati rasa. Hanya cahaya headlamp dan lampu dari kamera
SLR rombongan kami saja yg menjadi penerang kami menerobos terowongan panjang,
terjal dan lembab itu. oh iya, maksud kami menggunakan penerangan dari kamera
SLR adalah : kami ingin membuat video perjalanan kami menuju atap sumatera
(video documenter gitu). Tapi disini saya terbesit dalam pikiran tentang video
pendaki yang tewas di Kerinci yang didapatkan dari grup pendaki gunung di
Jakarta. Semak belukar yang kami temui yang ada disisi terowongan ini sangat
mirip dengan tempat penemuan mayat pendaki di video itu. saya menduga inilah
lokasi yang ada di video itu. Hmm..bulu kuduk sedikit merinding mengingat dugaan
kami. Dalam hati saya berdoa kepada Allah SWT agar kami semua dijauhkan dari
marabahaya dan kembali dengan selamat. Alhamdulillah doa saya terkabul, kami
kembali dengan selamat dari pendakian Kerinci dan dapat bercerita kisah
petualangan ini.
Memang saya sadari sepenuhnya, mendaki
gunung itu beresiko tinggi dan sangat dekat dengan marabahaya. Itulah sebabnya
setiap saya hendak mendaki gunung saya selalu niat baik dalam hati, berdoa
minta perlindungan pada Allah dan berhati-hati. Sudah banyak pendaki yang menjadi
korban di gunung.
Kembali ke topik, tujuan kami saat ini
adalah menuju Shelter 3. Dimana itu adalah shelter terakhir di ketinggian 3.320
mdpl. Tempat dimana pendaki mendirikan tenda terakhir dan persiapan summit
attack. Setibanya kami di shelter 3 kami segera mencari lokasi terbaik untuk
mendirikan tenda. Setelah mendapat lokasi pendirian tenda, kami segera
beristirahat, mendirikan tenda, mencari ranting untuk api unggun, memasak.
Sedangkan saya sendiri sibuk dengan peralatan kamera dan tripod. Tidak mau
melewatkan langit cerah dan berbintang ini, saya memutuskan untuk membuat video
timelapse dibawah bintang. Alasanya, karna pengliharan manusia terbatas, jika
tidak menggunakan kamera DSLR dan slow shutter maka semua bintang indah ini
tidak akan terlihat. Sebelum tidur kami memasak untuk makan malam. Usai makan
malam kami semua tidur untuk memulihkan dan mengumpulkan tenaga. Esok subuh
kami akan melakukan Summit Attack atau mendaki ke puncak tertinggi Gunung
Kerinci.
Sebenarnya yang terberat mendaki gunung
bagi saya adalah Summit Attack. Dimana kita harus mendorong diri dan kemampuan
fisik yang mulai melemah. Untuk sampai ke puncak dimana medan terjal berbatu,
pasir, abu yang berterbangan dan dingin yang amat menusuk. Apalagi Kerinci ini
adalah gunung berapi tertinggi di Indonesia. Sudah pasti dinginnya ekstrem.
Jadi mendaki gunung gak semudah film “5cm” itu. itu sih lebay!
Pagi hari kami bangun agak terlambar.
Yang tadinya rencana bangun pukul 4 kami bangun pukul 04:30. Jujur saja disubuh
itu males banget bangun karena dingin yang menusuk sampai ketulang. Semangat
kembali muncul setelah mengingat pencapaian yang susah sejauh ini. Segera kami
packing membawa apa saja yang dibutuhkan saat menuju puncak. Trekking pole,
kamera, bendera Indonesia dan Kayu untuk bendera.
Summit Attack Atap
Sumatera
Senin, 03 Februari 2014 Pukul 04.45 WIB
Mulai berjalan menjauhi tenda dengan
langkah yang awalnya dengan semangat 45 dihantam hembusan angin kencang yang
membuat dingin semakin ekstrem saja. Sewaktu saya melihat ke arah puncak. Kami
memutuskan hanya 7 orang yg summit attack, karna 3 orang anggota rombongan kami
(Nia, Dina, dan Fatur) memutuskan untuk tidak summit attack dan menjaga Dina
yang semalam sakit dan menjaga tenda. Kami bertujuh awalnya berjalan beriringan
lambat laun mulai pecah. Ya begitulah keadaanya, kondisi fisik saat itu
tidaklah sama. Namun kami sudah sepakat untuk saling menunggu di puncak dan
saling menjaga satu sama lain. Sungguh ekstrem jalur ke puncak ini, berbeda
dengan pendakian yang pernah saya rasakan saat mendaki Mahameru (puncak gunung
Semeru di Jawa Timur, 3676 mdpl). Kami berjalan di lereng bebatuan dan pasir
yang membuat sepatu kadang terbenam sehingga sulit berjalan, untuk saja kami
inisiatif membawa trekking pole sehingga sedikit membantu saat summit attack.
Di tambah bila angin berhembus kencang, abu dan pasir berterbangan sehingga
kadang masuk ke mata dan mengganggu pernafasan, padahal kami sudah menyiapkan
kaca mata dan masker tapi debu halus tetap masuk melalui celahnya.
Bila terjadi hal begini saya segera
berhenti menunduk dan sesekali melihat kebawah dan mencari teman-teman, atau
bersembunyi di celah antara batu. Oh…baru Gunung Kerinci inilah saya mengalami
hal semacam ini, benar-benar gunung yang susah untuk di daki, butuh semangat
dan keinginan kuat untuk bisa melewati rintangan yang ada.
“Tunduk saat mendaki, Tegak kala
menurun”
Kira-kira satu jam kami semua tiba di
Tugu Yudha. Tugu Yudha merupakan dataran luas padang pasir terletak persis di
bawah puncak Gunung Kerinci. Tugu Yudha ini sangat terkenal ceritanya. Dari
cerita yang saya dengar, dahulu (lupa tahun berapa) ada pendaki bernama Yudha
yang mendaki gunung bersama adiknya. Mereka camp di Shelter 3 sebelum ke
puncak. Nah ketika mau ke puncak ternyata kabut tebal menyelimuti yang membuat
jalur tidak kelihatan. Pendaki lain mengingatkan agar menunda perjalanan ke
puncak, namun dia (Yudha dan Adiknya) tetap ngotot dan nekat menembus kabut
tebal tersebut. Hal yang terjadi berikutinya dia hilang bahkan jasadnya tak
ditemukan sampai sekarang. Ada yang mengatakan Yudha adalah anak seorang
Perwira Tinggi TNI. Oleh sebab itu banyak personel TNI yang ikut dalam
pencariannya. Namun tetap tidak membuahkan hasil. Untuk mengenang beliau maka
tepat di bawah puncak utama Kerinci didirikan tugu yang diberi nama Tugu Yudha.
Setiap pendaki kerinci pasti melewati tugu ini bila hendak ke puncak Kerinci,
begitupun dengan kami. Kita doakan saja agar almarhmum tenang di alam sana dan
diterima Allah amal dan Ibadahnya. Amin.
Di Tugu Yudha ini kami semua berhenti
karena sesuatu yang menghipnotis mata. Ya…langit jingga kemerahan pertanda sang
fajar telah tiba. Di bawahnya samar terlihat bulatan putih. Itulah Danau Gunung
Tujuh (tempat pemberhentian kami selanjutnya). Subhanallah…pemandangan yang
sangat indah. Tampak jelas garis horizon dari ketinggian ini. Sungguh sempurna
lukisan alam di hadapan kami semua. Disini saya tidak menyia-nyiakan waktu,
segera mengambil kamera di tas lalu segera mengabadikan sunrise yg muncul
perlahan. Lalu kami melanjutkan perjalanan, karna kami tidak ingin berhenti
terlalu lama khawatir kena hipotermia karena di ketinggian ini cuaca semakin
dingin. Kami harus tetap bergerak agar suhu tubuh tetap stabil.
Lepas dari Tugu Yudha kini kami hanya
harus menaiki satu tanjakan panjang lagi untuk sampai ke puncak. Medannya
berupa tanjakan terjal berpasir dan berbatu. Sangat sulit berjalan di medan
seperti ini. Kadang kita hanya berjalan di tempat karena pijakan pada pasir
yang melorot, meluncur kembali ke bawah. Disini bukan hanya kaki yang bekerja,
tangan juga. Yah agar langkah tidak melorot lagi tangan harus mencengkram
trekking pole dengan kuat. Terkadang trekking pole tidak digunakan karna kadang
slip, sehingga kami harus mencengkram kuat batu yang dinginnya bagaikan
mencengkram es batu. Ini namanya bukan mendaki gunung, tapi manjat gunung.
Tenaga sudah terkuras habis disini,
saya sendiri hampir putus asa dan merasa tidak sanggup lagi melanjutkan
perjalanan ini. Di celah 2 buah batu saya memutuskan untuk berhenti
mengumpulkan tenaga dan minum kopi panas yg saya bawa di termos. Minum hangat
membuat otak saya rileks sejenak dan membantu menstabilkan suhu badan. Sambil
istirahat saya berpikir, menimbang mau melanjutkan sampai ke puncak atau tidak.
Pikiran itu berkecamuk hebat dalam otak, disatu sisi saya berpikir mungkin
hanya sampai disini batas kemampuan saya, disisi lain ini tujuan utama saya
datang jauh-jauh dari Jakarta membawa teman-teman mendaki gunung Kerinci
bersama-sama, mengendarai motor jauh-jauh dari Sumatera Utara ke Jambi ratusan
kilometer. Bodoh bila saya menyerah! Dihadapan saya saat itu banyak
pendaki-pendaki yang menyapa saya “semangat!”
Disaat yang sama banyak para pendaki
yang turun kembali dan menyapa saya, obrolan singkat mengatakan bahwa mereka
turun karena tidak sanggup lagi ke puncak. Baru saya sadari bahwa saya tidak
sendiri dalam kondisi ini.
Akhirnya setelah berpikir panjang dan
hampir menitikkan air mata. Saya tekadkan lagi berjalan menuju Puncak! Saya
segera merubah strategi (strategi yang sama saat mendaki Mahameru) berjalan
perlahan namun pasti. Dalam artian berjalan dengan langkah-langkah pendek agar
tidak terlalu banyak menghabiskan tenaga, namun tetap bergerak. Tapi tetap
saja, tenaga saya memang sudah terkuras habis. Kaki ini terasa sangat berat
untuk dilangkahkan. Namun tekad sudah saya tetapkan, harus tetap mendorong
batas kemampuan sampai Puncak. Satu pikiran yang membuat saya semangat waktu
itu adalah, akan berdiri di Puncak Tertinggi Sumatera, Gunung berapi tertinggi
di Indonesia. Gunung impian kami semua beberapa tahun lalu, dan saat ini
sedikit lagi kami semua sampai ke puncak impian itu. perlahan namun pasti saya
langkahkan kaki ini, menapaki terjalnya medan pendakian menuju puncak.
Setelah melalui perjuangan panjang dan
pergulatan batin disisa-sisa Akhir tenaga saya. Seorang teman menghampiri
(Farid) turun dan mengatakan puncak sudah di depan saya. Perkataan itu membuat
semangat saya bangkit lagi. Segera saya percepat langkah dan tibalah saya di
suatu dataran yang tidak lebar. Inilah dia puncak Gunung Kerinci !!!
Alhamdulillah, Allahu Akbar !!!
itu kata pertama yang keluar dari mulut saya ketika sampai di puncak. Segera
saya berlari menuju kawan-kawan dan memeluk mereka satu persatu. Segera kami
mengeluarkan bendera sangsaka Merah Putih yang dibawa untuk dikibarkan dan
kertas bertuliskan “PUNCAK GUNUNG KERINCI 3.805 MDPL”
Sukses !!!! berhasil sampai ke
Puncak Gunung Kerinci dan mengibarkan Bendera Indonesia di ketinggian 3.805
Mdpl. Puncak Kerinci ini berbeda dari puncak-puncak gunung yang pernah saya
pijak. Puncaknya sangat sempit, langsung berhadapan dengan kawahnya yang sangat
besar dan sisi lain jurang yang sangat dalam. Setiap waktu kawah memuntahkan
asap belerang yang baunya memabukkan. Kami sempat melihat kedalam kawah yg sangat
dalam, ternyata di dasar kawah tampah memerah itulah magma/lava gunung berapi.
Cukup ngeri melihat kedasar kawah itu.
Dan sewaktu memandang ke sekitar, luar
biasa. Danau Gunung Tujuh tampak jelas dan indah sekali dari sini. Langit
sangat biru cerah waktu itu. gumpalan awan berlapis-lapis dibawah kami,
samudera diatas awan. Luar biasa kami berdiri di ketinggian 3.805 Mdpl.
Sepertinya memang tepat bila ini dinamakan “Negeri di Atas Awan” karena memang
di posisi kami saat ini lebih tinggi dari gumpalan awan. Sungguh beruntung kami
mendapatkan kesempatan berdiri di puncak kerinci ini, pengalaman yang tidak
semua orang bisa mengalaminya. Suatu kebanggaan atas keberhasilan dari
perjuangan panjang.
Di puncak Gunung Tertinggi Pulau
Sumatera ini saya sangat terharu mengingat perjuangan saya untuk sampai disini.
Teringat sewaktu menabung rupiah demi rupiah, perjalanan panjang yang saya
tempuh dengan sepeda motor, perjuangan yang menguras tenaga sewaktu mendaki
hingga sampai puncak. Itu semua untuk mewujudkan impian kami bisa sampai
kesini. Gunung impian para pendaki.
Seorang pendaki senior asal jawa yang
saya temui sewaktu mendaki kemarin mengatakan track Kerinci ini sangat berat.
Beliau mengatakan tidak pernah menjumpai track seberat dan sekomplit ini pada
gunung-gunung di Jawa. Bahkan beliau juga mengatakan Gunung Semeru yang
terkenal sebagai Atap pulau Jawa pun relative lebih gampang di daki ketimbang
Kerinci. Entahlah penyataan beliau itu benar atau tidak. Yang jelas saya
sendiri merasakan track Gunung Kerinci ini memang sangat berat.
Setelah mengabadikan momen istimewa
tersebut ke dalam kamera untuk kenangan, kami bergegas turun karena asap
belerang mulai menebal dan arah angin juga telah mengarah tepat ke puncak.
Menurut info yang saya dapatkan, karakteristik Gunung Kerinci memang begitu.
Semakin siang asap belerang dari kawah semakin tebal. Sehingga waktu ideal
untuk tiba di Puncak sebelum jam 8 pagi. Kami cuma sekita 20 menit di puncak
untuk menikmati pemandangan dan merasakan berdiri di Puncak Tertinggi Sumatera.
Sebenarnya saya masih belum puas di puncak, masih ingin berlama-lama melihat
pemandangan yang sangat-sangat indah tersebut. Tapi semakin siang asap belerang
dari kawah gunung semakin tebal sehingga sulit untuk bernafas.
Bila sewaktu mendaki kami butuhkan
waktu lebih dari 1 jam dari Tugu Yudha. Saat turun kami Cuma habiskan waktu
sekitar 20 menitan hingga tiba di Tugu Yudha. Kaki pun mulai melangkah turun.
Buat masalah turun gunung itu adalah bagian yang saya sukai. Karana saya bisa
meluncur di pasir untuk turun, ya mirip sama waktu masih anak-anak, main
perosotan di pasir. Tak sampai setengah jam kami sudah sampai di Tugu Yudha,
sampai di Tugu Yudha tidak langsung turun ke Shelter 3, kami berbelok ke kanan
dari jalur menuju puncak, berencana akan melihat Taman Edelweiss yang katanya
ada di lereng sebelah barat Tugu Yudha. Ternyata Tugu Yudha ini sangat luas
membentang, bagai gurun pasir. Saya tidak melihat adanya tumbuhan disini, hanya
hamparan pasir luas dan tumpukan bebatuan. Angin disini sangat kuat sampai-sampai
kami jalan dengan tubuh yang miring karena diterpa angin kencang dari sisi
samping. Terkadang kami harus berjalan atau berpegang pada bebatuan besar saat
ada hembusan angin yang cukup kencang dari arah puncak. Baru kali ini saya
mengalami hal semacam ini di gunung. Sangat banyak pengalaman baru yang kami
dapatkan di Gunung Kerinci ini, ini semua adalah pengalaman berharga yang
mungkin tak akan terlupakan seumur hidup saya.
Cukup lama kami menghabiskan waktu di
hamparan pasir yang luas ini. Hingga sampailah kami di titik ujung dataran
berupa tebing curam berupa jurang yang sangat dalam. Menurut informasi yang
kami dapatkan di lereng dan dasar jurang inilah posisi bunga Edelweiss berada.
Saya sangat penasaran ingin melihat secara langsung Edelweiss berwarna ungu ini
karena belum pernah lihat secara langsung. Sangat terjal dan dalam samar
terlihat vegetasi tumbuhan perdu. Saya tidak melihat adanya ciri-ciri bunga
edelweiss disana. Entah informasi yang kami dapatkan salah atau memang mata
kami yang kurang jeli melihatnya. Menimbang-nimbang faktor semacam itu kami
urungkan niat untuk turun ke bawah, dan memutuskan kembali ke Tugu Yudha yang
artinya kami harus melewati hamparan pasir yang luas berbukit kecil serta
terpaan angin yang kuat. Yang saya rasakan saat itu panas dingin. Ya…dingin
karena terpaan angin kencang dan cuaca gunung yang memang dingin, juga karena
panas dari sinar mentari yang mulai terang dan meninggi.
Singkat cerita sampailah kami di Tugu
Yudha. Tepatnya di salah satu tugu peringatan batu berbentuk seperti kuburan.
Ini sengaja dibuat untuk mengenang para pendaki Kerinci yang menemui
ajalnya di gunung. Salah satunya adalah milik almarhum Yudha yang saat ini
namanya diabadikan di salah satu tempat di Gunung Kerinci.
Disana kami beristirahat, tepat didepan
sebuah batu besar yang menghadap kearah Shelter 3. Wow…pemandangan dari sini
pun tak kalah indahnya, dari sini kami dapat melihat Danau Gunung Tujuh, Danau
Belibis, puluhan tenda berwarna-warni di Shelter 3 dan juga hamparan kebun the Kau
Aro yang luas membentang. Danau Kerinci juga Nampak di kejauhan dengan latar
belakang Gunung Raya. Sebuah pemandangan yang sangat menyejukkan mata yang tak
semua orang dapat merasakannya.
Puas dengan semua itu kami lanjutkan
perjalanan turun menuju basecamp di Shelter 3. Langkah kaki terasa ringan tidak
seperti waktu mendaki. Kendala yang kami hadapi saat turun kadang sepatu
terbenam terlalu dalam di pasir. Untunglah saat itu saya pakai gaiter sehingga
pasir dan batu kerikil tidak masuk kedalam sepatu saya. Terus berjalan hingga
sampailah kami di tenda tempat kami menginap tadi malam. Sesampainya di tenda
kami istirahat sebentar dan masak untuk makan siang, sambil sesekali mengecek
keadaan teman kami yang sakit. Di pendakian kali ini kami membawa 14 Liter air.
Sengaja kami membawa membawa air sebanyak itu, karna jumlah rombongan kami, dan
antisipasi bila sumber-sumber air di gunung habis. Alhamdulillah dengan
persediaan air sebanyak itu, selama di gunung kami tidak kekurangan air bahkan
kami bisa berbagi kepada pendaki lain, padahal jumlah rombongan kami 10 orang.
Masak sudah, kini saatnya makan siang.
Makan siang kali ini lumayan lengkap, walau gak ada nasi tapi kami semua
menikmatinya. Setelah makan siang dan mengembalikan tenaga, kami lanjutkan
dengan santai-santai di Shelter 3. Beberapa dari kami asik dengan kameranya,
termasuk saya. Kami merencanakan turun ke bawah jam 1 siang dengan asumsi tiba
dibawah sebelum maghrib. Sementara saat ini jam di tangan saya masih
menunjukkan pukul 10.30 pagi. Segera saja kami memutuskan jeda waktu yang ada
untuk tidur. Memulihkan tenaga agar kondisi badan fit saat turun tadi.
Tidur sebentar namun nyenyak karena
kecapean, akhirnya kami bangun segera packing dan bersiap untuk turun. Tidak
lupa kami bersihkan sampah sisa bekas kami untuk dibawa turun. Sebagai pecinta
alam sudah seharusnya dan kewajiban untuk membawa turun sampah sisa saat di
gunung. Perlahan kami mulai berjalan menuruni gunung Kerinci yang tadi pagi
telah kami gapai puncaknya, kali ini sedikit berbeda saat perjalanan turun,
kami berjalan bersama pasangannya masing-masing, bertegur sapa dengan
pendaki-pendaki lainnya yang baru tiba ataupun masih menetap di Shelter 3.
Nah ini dia bagian yang seru, entah
karena kami kelebihan tenaga atau karena kondisi badan yang fit kami turuni
gunung dengan gaya free style. Maksudnya kami turun dengan langkah cepat
dan bergelantungan di dahan-dahan pohon di pinggir jalur pendakian. Dan saat
berjumpa dengan pendaki yang datang dari arah bawah, kami ambil jalan lain
menerobos semak di pinggir jalur pendakian, atau berhenti meminggir saat jalan
terlalu sempit jika berpapasan pendaki yang sedang naik dengan nafas ngosngosan
dan peluh membanjiri muka. Keadaan yang persis kami rasakan kemarin saat kami
menanjak. Di Shelter 2 kami berhenti untuk beristirahat. Setelah istirahat
sebentar kami lanjutkan lagi perjalanan dengan langkah cepat, lambat laun
beberapa teman saya sepertinya sengaja memperlambat langkahnya, karna saya
berada di baris terdepan dan memandu mereka. Akhirnya saya memutuskan untuk
menunggu mereka di sebuah tempat cukup lapang tepat di pinggir jalur, 30 menit
berlalu belum juga muncul, sementara saya sudah mulai jenuh menunggu, karna
bosan saya memutuskan untuk foto-foto pemandangan di antara shelter 2.
Kami pun melanjutkan lagi
perjalanan setelah mereka muncul semua. Turun gunung ala free style masih kami
lanjutkan hingga bertemu rombongan yang melintas turun, akhirnya kami
memutuskan turun bersama dan memulai perkenalan, rupanya mereka dari Surabaya.
Shelter demi shelter kami lalui, pos demi pos juga kami lalui hingga akhirnya
kami tiba di pos 1. Di sini rasa bahagia dan kering tenggorokan sangat terasa.
Kami semua akhirnya turun gunung dan menuju rumah salah seorang teman kami, dan
akan kembali melanjutkan perjalanan menuju Dempo keesokan harinya.
Alhamdulillah, satu petualangan baru
telah saya lakukan untuk menambah daftar tempat-tempat eksotis yang pernah saya
datangi. Salah satunya, Gunung Kerinci. Sebuah gunung aktif yang sangat besar,
disebut sebagai atap Sumatera, gunung berapi tertinggi di Indonesia. Akhirnya
saya berhasil sampai kesini dan Terima Kasih Alhamdulillah saya ucapkan kepada
Allah SWT yang telah mengjinkan kami menikmati salah satu alam indah
ciptaan-Nya.